AMBON, arikamedia – Progeam Konnas Perempuan RI, Maluku merupakan salah satu Pilot Project dari program nasional Sistim Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) Pemberantasan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (PKKTP). Maluku menjadi salah satu dari 6 provinsi dengan alasan daerah kepulauan.

Hal ini dikatakan Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Dra.Olivia Latuconsina,MP saat dihubungi arikamedia, Selasa (29/11/2022) kemarin.
Olivia menyebutkan, Komnas Perempuan merasa penting melihat wilayah perspektif kepulauan dalam menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Wilayah-wilayah kepulauan itu jangkauan korban akan sulit karena pengaduannya harus ke kabupaten atau ke ibukota kabupaten maupun provinsi. Umumnya sulit dan transportasi yang terbatas,” ujar mantan Wakil Wali Kota Ambon ini, via telefon selulernya.
Geografis kepulauan itu yang membuat korban tidak berani melaporkan kasusnya karena rentan kendali yang jauh. Sasaran Komnas Perempuan kata Olivia, adalah minimnya akses pada desa-desa terpencil itulah yang membuat tingkat kekerasan terus meningkat karena untuk melaporkan saja butuh biaya besar. Akses untuk mendapatkan perlindungan korban, agak susah jika di Kepulauan.
“Karena itu Komnas Perempuan bekerjasama dengan pemerintah khususnya lembaga-lembaga layanan jarngan masyarakat sipil, yang melakukan pendampingan terhadap korban dan pendataan, teman-teman jaringan masyarakat sipil, untuk menungkap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan dikoordinasikan dengan Komnas Perempuan,” tambahnya.
Dalam pantaua Komnas Perempuan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ternyata bermunculam dan banyak setelah disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Itu menandakan ungkapnya, ada kepercayaan dari korban untuk melaporkan kasusnya karena ada jaminan UU dan negara menjamin perlindungan terhadap korban.
Selama ini korban menjadi kesulitan karena itu diharapkan peran pemerintah daerah untuk membuat peraturan turunan dari UU tersebut.
Beberapa waktu lalu Kementerian PPPA mengakui Pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk melindungi perempuan dan anak dengan melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan berperspektif korban antara lain, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Orang (PTPPO), UU Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan TPKS. Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan secara umum, sebesar 26,1 persen perempuan masih mengalami keekrasan sepanjang hidupnya.
Selanjutnya, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021 juga menunjukkan sebanyak 34% anak laki-laki dan 41,05% anak perempuan pernah mengalami salah satu jenis kekerasan sepanjang hidupnya.
KemenPPPA telah mengidentifikasi sejumlah isu dan upaya strategis dalam mewujudkan perlindungan perempuan dan anak, antara lain, menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, menyediakan layanan yang mudah, aman, dan nyaman, manajemen penanganan kasus yang cepat, terintegrasi, dan komprehensif, menyediakan dan mengembangkan layanan pengaduan yang mudah dijangkau, cakupan luas, aman, dan nyaman bagi korban melalui layanan SAPA 129 yang akan dikembangkan ke Provinsi dan menyediakan Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK NF).
Kepala Pusat Perencanaan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Djoko Pudjirahardjo baru-baru ini menjelaskan, sejumlah tantangan dan kendala dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak, yakni ego sektoral di pemerintah pusat, lemahnya koordinasi penanganan kasus perempuan dan anak oleh pemerintah daerah, terdapatnya tumpang tindih kewenangan dalam internal maupun eksternal lembaga penyelenggara perlindungan perempuan dan anak di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, belum teringrasikannya data antara para pemangku kepentingan perlindungan perempuan dan anak, serta ketersediaan dukungan anggaran masih belum optimal dan belum menjadi prioritas. (Red)
Discussion about this post