AMBON, arikamedia – Izin Pertambangan Rakyat atau disingkat IPR merupakan sebuah kuasa pertambangan yang diberikan pemerintah sebagai upaya memberikan wadah bagi masyarakat untuk melakukan sejumlah usaha pertambangan dengan luas wilayah yang telah ditentukan.
Luas wilayah tersebutlah yang menjadikan ciri utama dari IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Secara umum, orang ataupun golongan yang memiliki hak dalam mendapatkan IPR ialah penduduk atau masyarakat setempat, baik itu orang pribadi, badan, hingga koperasi.
Praktisi Lingkungan Dr Abraham Tulalessy mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku memberikan ijin Daerah Tambang Gunung Botak Kabupaten Buru, menjadi Pertambangan Rakyat, Pemprov maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buru harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mengelola potensi alam mereka berupa tambang emas di Gunung Botak menjadi Usaha Pertambangan Rakyat.

Tulalessy mengatakan, segera keluarkan IPR karena tahapan soal pertambangan di suatu wilayah adalah, setelah punya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) atau Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), selanjutnya WPR dibagi menjadi IPR, kalau yang WIUP dia bisa langsung ke Amdal, tapi untuk WPR harus ada KLHS dulu, setelah ada WPR, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) baru kemudian AMDAL baru bisa dapat IPR, baru bisa menambang untuk masyarakat yaitu Koperasi-Koperasi.
Dijelaskan, kalau untuk WIUP langsung ke Amdal untuk mendapatkan IUP. Karena aturan WPR harus dibagi kepemilikan berdasarkan koperasi yang satu Koperasi saja batas minimum 10 Ha untuk mendapatkan IPR.
Menurutnya, ancaman-ancaman soal tidak amannya penambangan termasuk yang mensuplai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup.
“Yang perlu dipertanyakan tidak ditindak tegas itu menjadi pertanyaan, Seharusnya daerah yang sudah punya WPR diberikan rakyat pemilik untuk mengelola, sebelum mereka mendapat IPR, dalam UU pertambangan rakyat dimulai sebelum ada ijin. Rakyat menambang dulu baru kemudian mengurus ijin. Kalau perusahaan urus ijin dulu baru menambang. Rakyat menambang dengan tidak mensuplai B3 tadi,” kata Tulalessy yang juga akademisi Unpatti ini kepada arikamedia, Senin (3/4/2023).
Seorang pemimpin daerah dapat melimpahkan kewenangannya dalam memberikan IPR kepada camat. Terkait hal tersebut, tentunya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun, beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam mendapatkan IPR, yang mana pemohon diwajibkan untuk mengajukan surat permohonan kepada bupati ataupun walikota di wilayah tersebut. Luas wilayah dari satu IPR ini akan diberikan pada, perseorangan yang memiliki luas paling besar 1 hektar, sebuah kelompok masyarakat dengan jumlah maksimal sebanyak 5 hektar, sebuah Koperasi dengan maksimal luas wilayah kurang lebih sebesar 10 hektar.
Sebaiknya lanjut Tulaelssy, secepatnya diberikan kepada rakyat dalam bentuk IPR, karena IPR diterbitkn Gubernur. IUP dan WIUP mendorong ke pertambangan rakyat dengan menggunakan baha-bahan yang ramah lingkungan.
IPR telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009, perihal pertambangan mineral dan batubara. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tim riset dunia tambang telah menyusun dengan lengkap mengenai seperti apa kebijakan pertambangan rakyat. Sehingga, dengan adanya regulasi ataupun dasar hukum IPR dapat membantu dalam membuka wawasan masyarakat. Di samping itu terdapat beberapa kelompok bahan galian dalam aktivitas pertambangan rakyat yang diatur dan disebutkan pada Pasal 66, UU Nomor 4 Tahun 2009. (Red)
Discussion about this post